A. POST-POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap
positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai
“post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu
alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan
yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan
positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya
mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara
ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap
bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi
mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara
epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan
realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan
subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified
experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme
dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh
persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme
melalui kritikan dari tiga hal yaitu :
1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat
memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan
waktu,
3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis
(Salim, 2001).
Post
positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang
amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan
antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan
demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi
oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
B. PARADIGMA
POST-POSITIVISME
1. PARADIGMA
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting.
Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji
konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic
belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of
method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.”
Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar
atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam
memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan
epistomologis. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat
dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan
ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
a. Ontological:
What is the nature of the “knowable?” or what is the nature of reality? Ontologi:
Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari
realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan
tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi
mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
b. Epistomological:
What is the nature of the relationship between the knower (the inquirer) and
the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang
ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih
sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin
mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan
mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?
c. Methodological:
How should the inquirer go about finding out knowledge? Metodologi:
Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat
dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti menemukan
pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara atau metoda
apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan ontologi, epistomologi,
dan metodologi sebagai berikut:
a. The
ontological question: What is the form and nature of reality and, therefore,
what is there that can be known about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk
dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?”
b. The
epistomological question: What is the nature of the relationship between the
knower or would be-knower and what can be known? Pertanyaan epistomologi:
“Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan
apa yang dapat diketahui.”
c. The
methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about
finding out whatever he or she believes can be known. Pertanyaan
metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat
menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan Guba
dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta
metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba
(1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah
sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan
metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar
sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat
realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara
peneliti mengetahui realitas.
2. ASUMSI DASAR POST POSITIVISME
1) Fakta tidak bebas nilai, melainkan
bermuatan teori.
2) Falibilitas Teori, tidak satupun
teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti
empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3) Fakta tidak bebas melainkan penuh
dengan nilai.
4) Interaksi antara subjek dan objek
penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil
interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa
berubah.
5) Asumsi dasar post-positivisme
tentang realitas adalah jamak individual.
6) Hal itu berarti bahwa realitas
(perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7) Fokus kajian post-positivis adalah
tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa
realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain
Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari
realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat
secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus
bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti
Postpositivisme adalah sebagai berikut:
- Asumsi ontologi: “Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely understood.” Yang artinya “Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
- Asumsi epistomologi: “Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and critical community.”yang artinya “Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
- Asumsi metodologi: “Modified experimental/manipulative – emphasize critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into the inqury process.” Yang artinya “Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.”
Untuk
mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut,
akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu
pengetahuan ;
Pertama,
Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu
yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya
lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat
baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme
lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi
melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
Kedua,
Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat
tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran
positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya
realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran
dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan
postpositivisme.
Ketiga,
banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme.
Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas
mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai
dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme
mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai
kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar,
sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik
dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan
banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh
anggotanya.
Keempat,
karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas?
Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini,
maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa
objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar